Akhlak
Islami Dalam Bertetangga
Islam
adalah agama rahmah yang penuh kasih sayang, dimana norma hukum Islam bersumber
pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Salah satu bentuk norma kehidupan beragama adalah
bagaimana kita bertetangga. Dan hidup rukun dalam bertetangga adalah moral yang
sangat ditekankan dalam Islam. Jika umat Islam memberikan perhatian dan
menjalankan norma –norma dalam bertetangga, niscaya akan tercipta kehidupan
masyarakat yang tentram, aman dan nyaman. Untuk bisa mencapai ketetraman,
keamanan dan kenyamanan tentunya mari kita kaji, baca dan perhatikan dengan
seksama.
1.
Batasan Tetangga
Siapakah
yang tergolong tetangga? Apa batasannya?
Karena
besarnya hak tetangga bagi seorang muslim dan adanya hukum-hukum yang terkait
dengannya, para ulama pun membahas mengenai batasan tetangga. Para ulama khilaf dalam
banyak pendapat mengenai hal ini. Sebagian mereka mengatakan tetangga adalah : orang-orang
yang shalat subuh bersamamu, sebagian lagi mengatakan 40 rumah dari setiap
sisi, sebagian lagi mengatakan 40 rumah disekitarmu, 10 rumah dari tiap sisi’
dan beberapa pendapat lainnya (lihat Fathul Baari, 10 /
367).
Namun pendapat-pendapat tersebut dibangun atas
riwayat-riwayat yang lemah. Oleh karena itu Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata: “Semua riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam yang berbicara mengenai batasan tetangga adalah lemah tidak
ada yang shahih. Maka zhahirnya, pembatasan yang benar adalah sesuai ‘urf”
(Silsilah Ahadits Dha’ifah, 1/446). Sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang
berbunyi :
اَلْعُرْفُ
حَّدُ مَالَمْ يُحَدِّدُ بِهِ الّشَرْعُ
(adat kebiasaan adalah pembatas bagi
hal-hal yang tidak dibatasi oleh syariat).
Sehingga,
yang tergolong tetangga bagi kita adalah setiap orang yang menurut adat
kebiasaan setempat dianggap sebagai tetangga kita.
2. Kedudukan
Tetangga Bagi Seorang Muslim
Hak dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim
sangatlah besar dan mulia. Sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan
sebagai indikasi keimanan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589,
Muslim 70)
Bahkan besar dan pentingnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim
sangatlah ditekankan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ
حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa menasehatiku
tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian
harta waris” (HR. Bukhari 6014, Muslim 2625)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Bukan
berarti dalam hadits ini Jibril mensyariatkan bagian harta waris untuk tetangga
karena Jibril tidak memiliki hak dalam hal ini. Namun
maknanya adalah beliau sampai mengira bahwa akan turun wahyu yang
mensyariatkan tetangga mendapat bagian waris. Ini menunjukkan
betapa ditekankannya wasiat Jibril tersebut kepada Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/177)
3. Anjuran
Berbuat Baik Kepada Tetangga
Karena demikian penting dan besarnya kedudukan
tetangga bagi seorang muslim, Islam pun memerintahkan ummatnya untuk berbuat
baik terhadap tetangga.
Allah Ta’ala berfirman :
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ
ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ
مُخْتَالًا فَخُورًا
(Sembahlah
olehmu Allah) dengan
mengesakan-Nya (dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
suatu pun juga.) (Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu
bapak) dengan berbakti dan bersikap lemah lembut (kepada
karib kerabat) atau kaum keluarga (anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang karib) artinya yang dekat kepadamu dalam bertetangga atau dalam
pertalian darah (dan kepada tetangga yang jauh) artinya
yang jauh daripadamu dalam kehidupan bertetangga atau dalam pertalian darah (dan teman sejawat) teman seperjalanan atau satu profesi
bahkan ada pula yang mengatakan istri (ibnu sabil) yaitu
yang kehabisan biaya dalam perjalanannya (dan apa-apa yang kamu
miliki) di antara hamba sahaya. (Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong) atau takabur (membanggakan
diri) terhadap manusia dengan kekayaannya.( An-Nisa:36)
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan ayat ini:
“Tetangga yang lebih dekat tempatnya, lebih besar haknya. Maka sudah semestinya
seseorang mempererat hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya
sebab-sebab hidayah, dengan sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan
perbuatan serta tidak memberikan gangguan baik berupa perkataan dan perbuatan”
(Tafsir As Sa’di, 1/177)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam juga bersabda:
خَيْرُ اْلأَصْحَابِ
عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ ، وَخَيْرُ الْـجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ
خَيْرُهُمْ لِـجَارِهِ
“Sahabat yang
paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya.
Tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya
terhadap tetangganya” (HR. At Tirmidzi 1944, Abu Daud 9/156, dinilai shahih
oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 103)
Maka jelas sekali bahwa berbuat baik terhadap tetangga adalah akhlak yang
sangat mulia dan sangat ditekankan penerapannya, karena diperintahkan oleh
Allah dan Rasul-Nya.
4. Ancaman
Atas Sikap Buruk Kepada Tetangga
Disamping anjuran, syariat Islam juga mengabarkan
kepada kita ancaman terhadap orang yang enggan dan lalai dalam berbuat baik
terhadap tetangga. Bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menafikan
keimanan dari orang yang lisannya kerap menyakiti tetangga.
Beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
وَاللهِ لَا
يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman, tidak
beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’.
Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya
(kejahatannya)‘” (HR. Bukhari 6016, Muslim 46)
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: بَوَا
ئِقَ
maksudnya culas, khianat, zhalim dan jahat. Barangsiapa yang tetangganya tidak
aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga dilakukan
dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga dalil larangan
menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk
perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu dan
resah”. Beliau juga berkata: ”Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan
segala bentuk gangguan. Jika seseorang melakukannya, maka ia bukan seorang
mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin
dalam masalah ini” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/178).Bahkan mengganggu
tetangga termasuk dosa besar karena pelakunya diancam dengan neraka.
Ada seorang sahabat berkata:
يا رسول الله! إن فلانة
تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في
النار
“Wahai Rasulullah,
si Fulanah sering shalat malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti
tetangganya. Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka’”
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak 7385, dinilai shahih oleh Al Albani
dalam Shahih Adabil Mufrad 88)
Sebagaimana Imam Adz Dzahabi memasukan poin
‘mengganggu tetangga’ dalam kitabnya Al Kaba’ir (dosa-dosa
besar). Al Mula Ali Al Qari menjelaskan mengapa wanita tersebut dikatakan masuk
neraka: “Disebabkan ia mengamalkan amalan sunnah yang boleh ditinggalkan, namun
ia malah memberikan gangguan yang hukumnya haram dalam Islam” (Mirqatul
Mafatih, 8/3126).
5. Bentuk-Bentuk
Perbuatan Baik Kepada Tetangga
Semua bentuk akhlak
yang baik adalah sikap yang selayaknya diberikan kepada tetangga kita. Diantaranya
adalah bersedekah kepada tetangga jika memang membutuhkan. Bahkan anjuran
bersedekah kepada tetangga ini sangat ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam :
لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ
الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ
“Bukan mukmin,
orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Al
Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 18108, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah
Ash Shahihah 149)
Beliau juga
bersabda:
إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا
فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ
مِنْهَا بِمَعْرُوْفٍ
“Jika engkau
memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu,
berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik” (HR. Muslim
4766)
Dan juga segala bentuk akhlak yang baik lainnya,
seperti memberi salam, menjenguknya ketika sakit, membantu kesulitannya,
berkata lemah-lembut, bermuka cerah di depannya, menasehatinya dalam kebenaran,
dan sebagainya.
6. Jika
Bertetangga Dengan Non-Muslim
Dalam firman Allah Ta’ala pada surat An Nisa ayat 36
di atas, tentang anjuran berbuat baik pada tetangga, disebutkan dua jenis
tetangga. Yaitu al jaar dzul qurbaa (tetangga dekat) dan al
jaar al junub (tetangga jauh). Ibnu Katsir
menjelaskan tafsir dua jenis tetangga ini: “Ali bin Abi Thalhah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa al jaar dzul qurbaa adalah
tetangga yang masih ada hubungan kekerabatan dan al jaar al junub adalah
tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan”. Beliau
juga menjelaskan: “Dan Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al Bikali bahwa al
jaar dzul qurbaa adalah muslim dan al jaar al junub adalah
Yahudi dan Nasrani” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/298).
Anjuran berbuat baik kepada tetangga berlaku secara umum kepada setiap
orang yang disebut tetangga, bagaimana pun keadaannya.
Ketika
menjelaskan hadits:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ
يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa
menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan
mendapat bagian harta waris”
Al ‘Aini menuturkan:
“Kata al jaar (tetangga) di sini mencakup muslim, kafir, ahli
ibadah, orang fasiq, orang jujur, orang jahat, orang pendatang, orang asli
pribumi, orang yang memberi manfaaat, orang yang suka mengganggu, karib
kerabat, ajnabi, baik yang dekat rumahnya atau agak jauh” (Umdatul Qaari,
22/108)
Demikianlah
yang dilakukan para salafus shalih.
Dikisahkan dari Abdullah bin ‘Amr Al Ash:
أَنَّهُ ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ، فَجَعَلَ يقول لغلامه: أهديت لجارنا اليهوي؟ أَهْدَيْتَ
لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بالجارحتى ظَنَنْتُ أنه سَيُوَرِّثُهُ
“Beliau menyembelih seekor kambing. Beliau lalu
berkata kepada seorang pemuda: ‘akan aku hadiahkan sebagian untuk tetangga kita
yang orang Yahudi’. Pemuda tadi berkata: ‘Hah? Engkau hadiahkan kepada tetangga
kita orang Yahudi?’. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda ‘Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga,
hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris‘”
(HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad 78/105, dishahihkan
oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad)
Oleh karena
itu para ulama menjelaskan bahwa tetangga itu ada tiga macam:
1. Tetangga yang mempunyai satu hak dan inilah tetangga yang paling sedikit haknya.
Adapun yang mempunyai satu hak
saja adalah
Tetangga musyrik yang tidak punya ikatan kerabat, maka dia hanya
mendapatkan hak ketetanggaan Hak-hak tetangga non-muslim, bahwa hak golongan
ini berbeda dari yang diperoleh tetangga muslim, baik yang masih kerabat maupun
yang bukan kerabat.
Hak-hak tetangga
nonmuslim:
1. Apabila minta
pertolongan, ia diberi pertolongan;
2. Apabila berutang, ia
diberi piutang;
3. Apabila sakit, ia
dikunjungi;
4. Apabila meninggal,
jenazahnya hanya diantarkan sampai ke pemakaman tanpa kita mengurus hal-hal
lainnya, seperti memandikan, mendo'akan, dan lain-lain sebagaimana jenazah
seorang muslim;
5. Tidak disakiti;
6. Diberi oleh-oleh
bila kita bepergian atau kita tidak menampakkan oleh-oleh kepada mereka dan
lain-lain.
2.
Tetangga yang mempunyai dua hak.
Adapun yang
mempunyai dua hak yaitu tetangga muslim, maka dia mempunyai hak keislaman dan hak ketetanggaan. Seorang
tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu hak
sebagai muslim dan hak sebagai tetangga.
3.
Tetangga yang
mempunyai tiga hak.
Tetangga yang mempunyai tiga hak yaitu tetangga muslim yang
masih punya ikatan kerabat, maka dia mempunyai hak keislaman, hak ketetanggaan,
dan hak kekerabatan. Tetangga muslim yang masih berkerabat mempunyai tiga macam
hak, yaitu hak sebagai seorang muslim, hak sebagai kerabat, dan hak
sebagai tetangga.
Hak sebagai muslim antara lain:
1. Apabila berjumpa, diberi salam atau apabila ia
memberi salam, salamnya wajib dijawab;
2. Apabila sakit, ia dijenguk;
3. Apabila bersin, disambut dengan bacaan yarhamukallah
untuk laki-laki dan yarhamukillah untuk perempuan, artinya semoga Allah
memberi rahmat kepadamu;
4. Apabila meninggal, jenazahnya diurus sampai
penguburannya;
5. Apabila meminta nasihat atau berbuat salah, ia
dinasehati dan dicegah dari perbuatan mungkar, dan lain-lain.
Adapun hak sebagai kerabat, yaitu semua tanggung jawab
yang diperintahkan oleh Islam kepada kerabat. Hak tersebut antara lain:
1.
Apabila terjadi perselisihan dengan isterinya,
mereka didamaikan;
2. Apabila kekurangan kebutuhan
hidupnya sehari-hari, ia dibantu;
3. Apabila ada orang yang menistakan kehormatannya
sebagai kerabat, ia
dibela;
4. Dijauhkan dari permusuhan dan pertentangan atau
pemutusan silaturahmi, dan
lain-lain.
Adapun haknya sebagai tetangga yaitu:
Ø Jika ia
minta tolong, berilah ia pertolongan.
Ø Jika ia
berutang kepadamu, berilah ia piutang.
Ø Jika ia
dalam kekurangan, hendaklah berkunjung untuk membantunya.
Ø Jika ia
sakit, kunjungilah.
Ø Jika ia
meninggal, iringkanlah jenazahnya.
Ø Jika dia
mendapatkan sesuatu yang baik, tunjukkan rasa senang.
Ø Jika ia
mendapatkan musibah (kematian), ta'ziyahilah.
Ø Janganlah
meninggikan bangunan melebihi bangunannya sehingga menghalangi angin untuknya,
kecuali atas izinnya.
Ø Jika membeli
buah-buahan, hendaklah beri dia.
Ø Jika tidak
dapat memberinya, bawalah dengan tertutup dan jagalah anak keluar membawanya
supaya anak tetangga tidak mengiri.
Ø Janganlah
mengganggunya dengan bau masakan, kecuali kalau mau memberi sebagiannya.
Dengan demikian berbuat baik kepada tetangga ada
tingkatannya. Semakin besar haknya, semakin besar tuntutan agama terhadap kita
untuk berbuat baik kepadanya. Di sisi lain, walaupun tetangga kita non-muslim,
ia tetap memiliki satu hak yaitu hak tetangga. Jika hak tersebut dilanggar,
maka terjatuh pada perbuatan zhalim dan dosa. Sehingga sebagai muslim kita dituntut
juga untuk berbuat baik pada tetangga non-muslim sebatas memenuhi haknya
sebagai tetangga tanpa menunjukkan loyalitas kepadanya, agamanya dan kekufuran
yang ia anut. Semoga dengan akhlak mulia yang kita tunjukkan tersebut menjadi
jalan hidayah baginya untuk memeluk Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar