Rabu, 24 Februari 2016

bentuk tetangga



Akhlak Islami Dalam Bertetangga
         
         Islam adalah agama rahmah yang penuh kasih sayang, dimana norma hukum Islam bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Salah satu bentuk norma kehidupan beragama adalah bagaimana kita bertetangga. Dan hidup rukun dalam bertetangga adalah moral yang sangat ditekankan dalam Islam. Jika umat Islam memberikan perhatian dan menjalankan norma –norma dalam bertetangga, niscaya akan tercipta kehidupan masyarakat yang tentram, aman dan nyaman. Untuk bisa mencapai ketetraman, keamanan dan kenyamanan tentunya mari kita kaji, baca dan perhatikan dengan seksama.

1.    Batasan Tetangga
     Siapakah yang tergolong tetangga? Apa batasannya?
          
 Karena besarnya hak tetangga bagi seorang muslim dan adanya hukum-hukum yang terkait dengannya, para ulama pun membahas mengenai batasan tetangga. Para ulama khilaf dalam banyak pendapat mengenai hal ini. Sebagian mereka mengatakan tetangga adalah : orang-orang yang shalat subuh bersamamu, sebagian lagi mengatakan 40 rumah dari setiap sisi, sebagian lagi mengatakan 40 rumah disekitarmu, 10 rumah dari tiap sisi’ dan beberapa pendapat lainnya (lihat Fathul Baari, 10 / 367).
Namun pendapat-pendapat tersebut dibangun atas riwayat-riwayat yang lemah. Oleh karena itu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata: “Semua riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang berbicara mengenai batasan tetangga adalah lemah tidak ada yang shahih. Maka zhahirnya, pembatasan yang benar adalah sesuai ‘urf” (Silsilah Ahadits Dha’ifah, 1/446). Sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang berbunyi :
اَلْعُرْفُ حَّدُ مَالَمْ يُحَدِّدُ بِهِ الّشَرْعُ
(adat kebiasaan adalah pembatas bagi hal-hal yang tidak dibatasi oleh syariat).
Sehingga, yang tergolong tetangga bagi kita adalah setiap orang yang menurut adat kebiasaan setempat dianggap sebagai tetangga kita.


 2.    Kedudukan Tetangga Bagi Seorang Muslim
Hak dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar dan mulia. Sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi keimanan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)

Bahkan besar dan pentingnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah ditekankan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris” (HR. Bukhari 6014, Muslim 2625)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Bukan berarti dalam hadits ini Jibril mensyariatkan bagian harta waris untuk tetangga karena Jibril tidak memiliki hak dalam hal ini. Namun maknanya adalah beliau sampai mengira bahwa akan turun wahyu yang mensyariatkan tetangga mendapat bagian waris. Ini menunjukkan betapa ditekankannya wasiat Jibril tersebut kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/177)

3.    Anjuran Berbuat Baik Kepada Tetangga
Karena demikian penting dan besarnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim, Islam pun memerintahkan ummatnya untuk berbuat baik terhadap tetangga. 

Allah Ta’ala berfirman :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
(Sembahlah olehmu Allah) dengan mengesakan-Nya (dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatu pun juga.) (Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak) dengan berbakti dan bersikap lemah lembut (kepada karib kerabat) atau kaum keluarga (anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang karib) artinya yang dekat kepadamu dalam bertetangga atau dalam pertalian darah (dan kepada tetangga yang jauh) artinya yang jauh daripadamu dalam kehidupan bertetangga atau dalam pertalian darah (dan teman sejawat) teman seperjalanan atau satu profesi bahkan ada pula yang mengatakan istri (ibnu sabil) yaitu yang kehabisan biaya dalam perjalanannya (dan apa-apa yang kamu miliki) di antara hamba sahaya. (Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong) atau takabur (membanggakan diri) terhadap manusia dengan kekayaannya.( An-Nisa:36)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Tetangga yang lebih dekat tempatnya, lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab hidayah, dengan sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan serta tidak memberikan gangguan baik berupa perkataan dan perbuatan” (Tafsir As Sa’di, 1/177)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ ، وَخَيْرُ الْـجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِـجَارِهِ

Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya. Tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap tetangganya” (HR. At Tirmidzi 1944, Abu Daud 9/156, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 103)

Maka jelas sekali bahwa berbuat baik terhadap tetangga adalah akhlak yang sangat mulia dan sangat ditekankan penerapannya, karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

4.    Ancaman Atas Sikap Buruk Kepada Tetangga
Disamping anjuran, syariat Islam juga mengabarkan kepada kita ancaman terhadap orang yang enggan dan lalai dalam berbuat baik terhadap tetangga. Bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menafikan keimanan dari orang yang lisannya kerap menyakiti tetangga.

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)‘” (HR. Bukhari 6016, Muslim 46)
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: بَوَا ئِقَ maksudnya culas, khianat, zhalim dan jahat. Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga dilakukan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga dalil larangan menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu dan resah”. Beliau juga berkata: ”Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang melakukannya, maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin dalam masalah ini” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/178).Bahkan mengganggu tetangga termasuk dosa besar karena pelakunya diancam dengan neraka.

Ada seorang sahabat berkata:
يا رسول الله! إن فلانة تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في النار
Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka’” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak 7385, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad 88)

Sebagaimana Imam Adz Dzahabi memasukan poin ‘mengganggu tetangga’ dalam kitabnya Al Kaba’ir (dosa-dosa besar). Al Mula Ali Al Qari menjelaskan mengapa wanita tersebut dikatakan masuk neraka: “Disebabkan ia mengamalkan amalan sunnah yang boleh ditinggalkan, namun ia malah memberikan gangguan yang hukumnya haram dalam Islam” (Mirqatul Mafatih, 8/3126).

5.    Bentuk-Bentuk Perbuatan Baik Kepada Tetangga
Semua bentuk akhlak yang baik adalah sikap yang selayaknya diberikan kepada tetangga kita. Diantaranya adalah bersedekah kepada tetangga jika memang membutuhkan. Bahkan anjuran bersedekah kepada tetangga ini sangat ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ
Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 18108, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 149)

Beliau juga bersabda:
إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوْفٍ
Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik” (HR. Muslim 4766)
Dan juga segala bentuk akhlak yang baik lainnya, seperti memberi salam, menjenguknya ketika sakit, membantu kesulitannya, berkata lemah-lembut, bermuka cerah di depannya, menasehatinya dalam kebenaran, dan sebagainya.

6.    Jika Bertetangga Dengan Non-Muslim
Dalam firman Allah Ta’ala pada surat An Nisa ayat 36 di atas, tentang anjuran berbuat baik pada tetangga, disebutkan dua jenis tetangga. Yaitu al jaar dzul qurbaa (tetangga dekat) dan al jaar al junub (tetangga jauh). Ibnu Katsir menjelaskan tafsir dua jenis tetangga ini: “Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa al jaar dzul qurbaa adalah tetangga yang masih ada hubungan kekerabatan dan al jaar al junub adalah tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan”. Beliau juga menjelaskan: “Dan Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al Bikali bahwa al jaar dzul qurbaa adalah muslim dan al jaar al junub adalah Yahudi dan Nasrani” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/298).
Anjuran berbuat baik kepada tetangga berlaku secara umum kepada setiap orang yang disebut tetangga, bagaimana pun keadaannya.
Ketika menjelaskan hadits:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris
Al ‘Aini menuturkan: “Kata al jaar (tetangga) di sini mencakup muslim, kafir, ahli ibadah, orang fasiq, orang jujur, orang jahat, orang pendatang, orang asli pribumi, orang yang memberi manfaaat, orang yang suka mengganggu, karib kerabat, ajnabi, baik yang dekat rumahnya atau agak jauh” (Umdatul Qaari, 22/108)
Demikianlah yang dilakukan para salafus shalih. 

Dikisahkan dari Abdullah bin ‘Amr Al Ash:
أَنَّهُ ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ، فَجَعَلَ يقول لغلامه: أهديت لجارنا اليهوي؟ أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بالجارحتى ظَنَنْتُ أنه سَيُوَرِّثُهُ
“Beliau menyembelih seekor kambing. Beliau lalu berkata kepada seorang pemuda: ‘akan aku hadiahkan sebagian untuk tetangga kita yang orang Yahudi’. Pemuda tadi berkata: ‘Hah? Engkau hadiahkan kepada tetangga kita orang Yahudi?’. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ‘Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris‘” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad 78/105, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad)


Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa tetangga itu ada tiga macam:

1.             Tetangga yang mempunyai satu hak dan inilah tetangga yang paling sedikit haknya.
Adapun yang mempunyai satu hak saja adalah
    Tetangga musyrik yang tidak punya ikatan kerabat, maka dia hanya mendapatkan hak ketetanggaan Hak-hak tetangga non-muslim, bahwa hak golongan ini berbeda dari yang diperoleh tetangga muslim, baik yang masih kerabat maupun yang bukan kerabat.
Hak-hak tetangga nonmuslim:
1. Apabila minta pertolongan, ia diberi pertolongan;
2. Apabila berutang, ia diberi piutang;
3. Apabila sakit, ia dikunjungi;
4. Apabila meninggal, jenazahnya hanya diantarkan sampai ke pemakaman tanpa kita mengurus hal-hal lainnya, seperti memandikan, mendo'akan, dan lain-lain sebagaimana jenazah seorang muslim;
5. Tidak disakiti;
6. Diberi oleh-oleh bila kita bepergian atau kita tidak menampakkan oleh-oleh kepada mereka dan lain-lain.

2.             Tetangga yang mempunyai dua hak.
     Adapun yang mempunyai dua hak yaitu tetangga muslim, maka dia mempunyai hak keislaman dan hak ketetanggaan. Seorang tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu hak sebagai muslim dan hak sebagai tetangga.

3.             Tetangga yang mempunyai tiga hak.
          Tetangga yang mempunyai tiga hak yaitu tetangga muslim yang masih punya ikatan kerabat, maka dia mempunyai hak keislaman, hak ketetanggaan, dan hak kekerabatan. Tetangga muslim yang masih berkerabat mempunyai tiga macam hak, yaitu hak sebagai seorang muslim, hak sebagai kerabat, dan hak sebagai tetangga.
         
          Hak sebagai muslim antara lain:
1. Apabila berjumpa, diberi salam atau apabila ia memberi salam, salamnya wajib dijawab;
          2. Apabila sakit, ia dijenguk;
3. Apabila bersin, disambut dengan bacaan yarhamukallah untuk laki-laki dan yarhamukillah untuk perempuan, artinya semoga Allah memberi rahmat kepadamu;
          4. Apabila meninggal, jenazahnya diurus sampai penguburannya;
5. Apabila meminta nasihat atau berbuat salah, ia dinasehati dan dicegah dari perbuatan mungkar, dan lain-lain.
Adapun hak sebagai kerabat, yaitu semua tanggung jawab yang diperintahkan oleh Islam kepada kerabat. Hak tersebut antara lain:
1.     Apabila terjadi perselisihan dengan isterinya, mereka didamaikan;
2.     Apabila kekurangan kebutuhan hidupnya sehari-hari, ia dibantu;
3.     Apabila ada orang yang menistakan kehormatannya sebagai kerabat, ia
    dibela;
4. Dijauhkan dari permusuhan dan pertentangan atau pemutusan silaturahmi,      dan lain-lain.

Adapun haknya sebagai tetangga yaitu:
Ø  Jika ia minta tolong, berilah ia pertolongan.
Ø  Jika ia berutang kepadamu, berilah ia piutang.
Ø  Jika ia dalam kekurangan, hendaklah berkunjung untuk membantunya.
Ø  Jika ia sakit, kunjungilah.
Ø  Jika ia meninggal, iringkanlah jenazahnya.
Ø  Jika dia mendapatkan sesuatu yang baik, tunjukkan rasa senang.
Ø  Jika ia mendapatkan musibah (kematian), ta'ziyahilah.
Ø  Janganlah meninggikan bangunan melebihi bangunannya sehingga menghalangi angin untuknya, kecuali atas izinnya.
Ø  Jika membeli buah-buahan, hendaklah beri dia.
Ø  Jika tidak dapat memberinya, bawalah dengan tertutup dan jagalah anak keluar membawanya supaya anak tetangga tidak mengiri.
Ø  Janganlah mengganggunya dengan bau masakan, kecuali kalau mau memberi sebagiannya. 



      Dengan demikian berbuat baik kepada tetangga ada tingkatannya. Semakin besar haknya, semakin besar tuntutan agama terhadap kita untuk berbuat baik kepadanya. Di sisi lain, walaupun tetangga kita non-muslim, ia tetap memiliki satu hak yaitu hak tetangga. Jika hak tersebut dilanggar, maka terjatuh pada perbuatan zhalim dan dosa. Sehingga sebagai muslim kita dituntut juga untuk berbuat baik pada tetangga non-muslim sebatas memenuhi haknya sebagai tetangga tanpa menunjukkan loyalitas kepadanya, agamanya dan kekufuran yang ia anut. Semoga dengan akhlak mulia yang kita tunjukkan tersebut menjadi jalan hidayah baginya untuk memeluk Islam.



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar