JARH WA TA’DIL
Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
ULUMUL HADITS
Dosen
Pembimbing:
Rina Asih
Handayani, M.Pd.
Disusun
oleh:
1.
Imam Prasetyo NIM 114-14-001
2.
Syarif Hadiansah NIM 114-14-004
3.
Muh. Mahfud NIM 114-14-006
Institute Agama Islam Negeri Salatiga
Fakultas Tarbiyyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Tahun 2016
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb
Puji syukur Kami panjatkan atas
rakhmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah “ Jarh wa Ta’dil ” tepat pada
waktunya.
Ucapan terima kasih juga Kami berikan
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Terutama kepada dosen pembimbing,yang telah membimbing kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Kami selaku penulis ingin ikut berpartisipasi dalam penyampaian tentang “Pengertian
Jarh wa ta’dil dan kedudukannya dalam ilmu hadits”. Kami berharap, apa yang kami sampaikan dapat diterima dan mudah untuk
dipahami.
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi segenap pembaca. Dan apabila ada kekurangan atau
kesalahan, kritik dan saran yang bersifat membangun, sangat kami harapkan dari segenap pembaca untuk perbaikan tugas-tugas dilain kesempatan.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Semarang, 30
April 2016
DAFTAR ISI
Halaman Judul ......................................................................................................... i
Kata Pengantar ........................................................................................................ii
Daftar Isi ................................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang ................................................................................ 1
1.2
Rumusan
Masalah ........................................................................... 2
1.3
Tujuan
Masalah ............................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Al-Jarh wa Ta’dil........................................................ 3-4
2.2
Manfaat Al-Jarh wa Ta’dil .............................................................. 5
2.3
Macam - macam
keaiban Rawi ..............................................................................5-6
2.4
Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan
Rawi
dan masalah – masalahnya .........................................................................................7-9
2.5
Syarat - syarat
orang yang men-tajrih -kan dan men-ta’dil-kan ............................ 9
2.6 Pertentangan antara Al-Jarh wa At-Ta'dil ...................................... 10
2.7 Tingkatan lafazh ilmu Jarh wa ta'dil ...........................................11-14
2.8 Kitab-kitab ilmu Jarh wa at-ta'dil ...................................................14
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan .................................................................................. 15
3.2
Kritik dan saran ............................................................................16
3.3
Daftar Pustaka ............................................................................. 16
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kedudukan hadits
(al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur‟an sudah tidak
diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak
diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana
menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal
yang pasti ada jarak waktu yang panjang
antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa
penulisan dan pembukuan suatu hadits. Untuk meneliti kesahihan suatu
hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayat,
yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain,
memindahkan dan mendewankan dalam dewan hadis. Dalam menyampaikan dan
mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan
maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ihwal sifat perawi yang berkenaan
dengan adil, dhabith atau fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya
suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena
kedudukan perawi sangat penting dalam
menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara
khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui
ilmu al- Jarh wa al-Ta‟dil
1.2
Rumusan Masalah
Berdasar
latar belakang tersebut perlu kirannya kami merumuskan masalah demi pijakan
untuk tetap fokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalah sebagai berikut
:
1.2.1
Pengertian Al-Jarh wa Ta’dil
1.2.2
Manfaat Al-Jarh wa Ta’dil
1.2.3
Macam - macam
keaiban Rawi
1.2.4
Metode untuk mengetahui keadilan dan
kecacatan Rawi
dan masalah – masalahnya
1.2.5
Syarat - syarat
orang yang mentajrihkan dan menta’dilkan
1.2.6
Pertentangan antara Al-Jarh wa At-Ta’dil
1.2.7
Tingkatan lafazh ilmu Jarh wa
at-ta’dil
1.2.8
Kitab - kitab ilmu Jarh wa at-ta’dil
1.3
Tujuan Masalah
1.3.1
Untuk
mengetahui tentang pengertian tentang
Al-Jarh wa Ta’dil
1.3.2
Untuk
mengetahui manfaat Al-Jarh wa Ta’dil dalam hubungannya dengan
hadits
1.3.3
Untuk mengetahui tentang macam - macam keaiban
Rawi
1.3.4
Untuk mengetahui tentang metode apa yang
digunakan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan Rawi dan masalah
- masalahnya
1.3.5
Untuk
mengetahui tentang syarat - syarat orang
yang mentajrihkan dan menta’dilkan
1.3.6
Untuk mengetahui tentang Pertentangan
antara Al-Jarh wa At-Ta’dil
1.3.7
Untuk mengetahui tentang tingkatan
lafazh ilmu Jarh wa at-ta’dil
1.3.8
Untuk mengetahui tentang kitab -
kitab ilmu Jarh wa at-ta’dil yang sudah ada sekarang ini
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Al-Jarh wa Ta’dil
Kalimat
al-jarh wa at-ta’dil merupakan satu kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua
kata, yaitu al-jarh dan al-‘adl. Secara bahasa al-jarh yang berarti
seseorang yang melukai tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah
dari luka tersebut. Dan juga pendapat lainnya al-jarh berarti luka, cela,
ataupun cacat. Dalam ilmu pengetahuan adalah yang mempelajari kecacatan para
perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya.[1]
Para ahli hadist mendefinisikannya dengan “kecacatan perawi Hadist yang
disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”.
Ibn Mandzur mengatakan hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan
sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.
Secara
terminology (istilah), al-jarh berarti munculnya
suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan
hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur (tidak diterima)
riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.
Adapun
‘at-tajrih’
menyifati
seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konskuensi penilaian lemah atas
riwayatnya atau tidak diterima.
Sedangkan
at-ta’dil
secara
bahasa berarti “ sesuatu yang terdapat dalam jiwa
bahwa sesuatu itu harus lurus ” merupakan lawan dari “ lacur “. Orang adil berarti
orang yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang
berarti menilainya positif. Adapun
secara terminologi, al-adl
berarti orang
yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.
Men-jarh
atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat
yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
Adapun rawi
dikatakan ‘adil adalah orang
dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya.
Memberi sifat-sifat terpuji kepada rawi sehingga apa yang diriwayatkannya dapat
diterima dan disebut men-ta’dil-kannya.
Dengan demikian pengertian dari Jarh wa at-ta'dil adalah :
العلم الذى يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول رواياتهم أوردها
" Ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka "
Berdasar pengertian
yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu
materi pembahasan dari cabang ilmu hadist yang membahas cacat atau adilnya
seorang yang meriwayatkan hadist yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi
hadistnya.[2]
2.2
Manfaat Al-Jarh wa
Ta’dil
Ilmu
al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah
periwayatannya seorang rawi dapat diterima atau harus ditolak sama sekali.
Apabila seorang rawi dinilai oleh para
ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila
seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima,
selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist tersebut terpenuhi.
Apabila
kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan
seksama, maka akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits
ini dinilai sama. Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW sampai
dibukukan adalah perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan situasi dan
kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadits
harus diteliti secara seksama karena terjadi pertikaian, yang dikaitkan dengan
hadits. Akibatnya, mereka yang menyandarkan hadits terhadap Rasulullah SAW,
padahal yang diriwayatkannya adalah riwayat yang bohong. Dan mereka melakukan
itu untuk kepentingan golongannya saja.
Jika
kita tidak mengetahui benar dan salahnya sebuah riwayat, kita akan
mencampuradukan antara hadits yang benar-benar dan yang palsu (maudhu’)
Dengan
mengetahui
ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi
mana hadist shohih, hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi
kualitas rawi, bukan dari matannya.[3]
2.3
Macam - macam keaiban
Rawi
1. BID’AH
Melakukan
tindakan tercela, diluar ketentuan syari’at. Adalakanya tergolong orang-orang yang dikafirkan
dan adapula yang tergolong orang-orang yang difasikkan. Mereka yang tergolong
orang-orang yang kafir, ialah golongan Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan
menyusup (bersatu) pada Sayyidina ‘Ali, dan pada imam-imam lain, dan
mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali lagi kedunia
sebelum hari kiamat. Sedangkan
yang fasik, ialah golongan yang mempunyai
ittikad berlawanan dengan dasar syari’at.
2. MUKHALAFFAH
Menilai
dengan periwayatan orang yang lebih tsiqoh. Yang dapat menimbulkan kejanggalan
dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila seorang rawi yang baik ingatannya
lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadist berlawanan dengan riwayat orang yang
lebih baik ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan
orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama’kan (dikumpulkan).
Periwayatan yang demikian disebut syadz, dan rawinya sangat lemah hafalannya
maka di sebut munkar.
3. GHALATH
Banyak
kekeliruan dalam periwayatan. Seorang rawi yang disifati
banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai hadist- hadist yang
telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat pada periwayatan
orang lain tidak di sifati dengan ghalath, maka hadist yang diriwayatkan oleh
orang banyak salah tersebut dapat di pakai, tetapi bukan menurut sanadnya.
4. JAHALATUL-HAL
Tidak
dikenal identitasnya merupakan pantangan untuk diterima
hadistnya, selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah
mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkarinya, dalam hal
ini di dahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih
tahu daripada orang yang mengingkarinya.
5. DA’WAL-INQITHA
Diduga
keras sanadnya tidak bersambung. Pendakwaan terputus dalam
sanad, misalnya mendakwa rawi memalsukan atau menyambungkan suatu hadist.[4]
2.4
Metode untuk mengetahui keadilan dan
kecacatan Rawi
dan masalah – masalahnya
Keadilan seorang rawi
dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan, yaitu :
Pertama, Dengan
kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia dikenal sebagai orang yang adil
(bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di kalangan
para ahli ilmu sepirti Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin
Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu,
mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu
sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.
Kedua, Dengan pujian dari
seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh
orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai
rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan
tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
a.
Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu
dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan. Sebab
jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadist).
b.
Setiap
orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan
dan baik orang yang merdeka maupun budak. Selama ia mengetahui sebab-sebab yang
dapat mengadilkannya.
Penetapan
tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan :
a.
Berdasarkan
berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah
dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak
perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk
menetapkan kecacatannya.
b.
Berdasarkan
pen-tajrih-an
dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian
ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para
fuqaha sekurang-sekurangnya harus ditajrihkan oleh dua orang
laki-laki yang adil.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan
menta’dilkan dan menjarhkan seorang rawi, diantaranya apabila penilaian itu secara mubham
(tak disebutkan
sebab-sebabnya) dan ada kalanya mufasar (disebutkan sebab-sebabnya). Tentang mubham ini diperselisihkan
oleh para ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu:
a.
Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya
dapat diterima, karena sebab itu banyak sekali, sehingga kalau disebutkan
semuanya tentu akan menyibukkan saja. Adapun mentajrihkan
tidak diterima, kalau tidak menyebutkan
sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan
karena orang-orang itu berlainan dengan mengemukakan sebab jarh, hingga tidak
mustahil seorang mentajrihkan menurut keyakinannya, tetapi tidak
dalam kenyataan.
b.
Untuk
ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu. Karena
sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan,
sedangkan mentajrihkan tidak bisa dibuat-buat
c.
Untuk kedua-duanya, harus disebut
sebab-sebabnya
d.
Untuk
kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarh dan
mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara
sebab munculnya kriteria mubham dan mufassar karena terjadi
perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap rawi.
Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam
menentukannya mengenai jumlah orang yang dipandang cukup untuk menta’dilkan dan
mentajrihkan rawi, seperti berikut ini :
a.
Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah
maupun dalam soal riwayah. Demikian pendapat
kebanyakan fuqaha’ Madinah.
b.
Cukup
seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab, bilangan
tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadist, maka tidak pula
disyaratkan dalam menta’dilkan dan mentajrihkan rawi. Berlainan
dalam soal syahadah.
c.
Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah
maupun dalam soal syahadah.
Adapun kalau ke’adalahannya (keadilannya) itu
diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak diperlukan
orang yang menta’dilkan (mu’addil). Seperti Malik, As-Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal,
Al-Laits, Ibnu ‘I-Mubarak, Syu’bah, Is-haq
dan lain-lainnya.[5]
2.5
Syarat - syarat orang yang
men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan
Kita
tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainnya,
melainkan harus jelas dahulu sebab-sebab penilaiannya. Terkadang orang menilai
orang lain cacat padahal dia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, tidak boleh
menerima langsung suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.
Bagi
orang-orang
yang menta’dilkan dan mentarjihkan diperlukan syarat-syarat berikut
ini:
a.
Berilmu pengetahuan
b.
Takwa
c.
Wara’ (orang yang selalu menjauhi
perbuatan maksiat syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat).
d.
Jujur
e.
Menjauhi fanatik golongan
f.
Mengetahui sebab-sebab untuk
menta’dilkan dan mentajrihkan.[6]
2.6 Pertentangan antara Al-Jarh wa At-Ta’dil
Terkadang,
pertanyaan-pertanyaan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama
bisa saling bertentangan. Sebagian mentajrihkannya, sebagian
lain menta’dilkan. Bila keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih
lanjut tentang keadaan sebenarnya.
Dalam masalah ini , para ulama terbagi dalam
beberapa pendapat, sebagai berikut :
1.
Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun
jumlah mu’addilnya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarh tertentu mempunyai
kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil, dan kalau jarh dapat
membenarkan mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja,
sedangkan jarhnya memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si
mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh Jumhur ‘ulama.[7]
2.
Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila
menta’dilkan lebih banyak karena banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan
keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj
Al-Khatib, pendapat ini dapat diterima, sebab yang menta’dil. Meskipun lebih
banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang
mentajrih.
3.
Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah
satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan
salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang
lebih kuat diantara keduanya.
4. Tetap
dalam ta’arudh bila tidak ditemukan
yang mentajrihkan.[8]
2.7 Tingkatan
lafazh ilmu Jarh wa at-ta’dil
Pertama: Segala sesuatu yang mengandung
kelebihan rawi dalam keadilan:
أَوْ ثَقُ
النَّاسِ، أَثْبَتُ الناسِ حِفْظًا وعدالَهً، إِليْهِ اْلمُنْتَهَى فىى الثَّبْتِ،
ثِقَّةٌ فَوْقَ ثِقَّةٍ.
“ Orang yang
paling tsiqoh, Orang yang paling mantab hapalan dan keadilannya, Orang
yang menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya, Orang tsiqot melebihi
orang tsiqot “.
Kedua : Memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukan
keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafazh
(dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya :
ثَبْتٌ ثبْتٍ،
ثقّةٌ ثقّةٍ، حجّةٌ حجّةٍ، ثبت ثقة، حافظ حجّة، ضابط مُتْقِنٍ.
“ Orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu
teguh dalam pendirian, Orang yang (lagi) petah lidahnya, Orang yang teguh
(lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendirian dan kuat hapalannya, Orang yang hafidz
(lagi) petah lidahnya, Orang yang kuat ingatannya (lagi) menyakinkan ilmunya “.
Ketiga : Menunjukkan
keadilan dengan suatu lafazh yang mengandung arti “ kuat ingatan “, misalnya :
ثبْت، مُتْقِنٌ،
ثقّة، حافظ، حجّة.
“ Orang yang teguh (hati-hati lidahnya),
orang yang menyakinkan ilmunya, Orang yang tsiqah, Orang yang hafizh (Kuat hapalannya), Orang yang petah lidahnya
“.
Keempat : Menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafazh yang tidak
mengandung arti “kuat ingatan” dan ‘adil (tsiqah), misalnya:
صدوقٌ،
مأمون، لابأْسَ بِهِ.
“ Orang yang sangat jujur, orang yang dapat
memegang amanat, orang yang tidak cacat “.
Kelima : Menunjukkan
kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an, misalnya :
محلة الصدق،
جيّد الحديث، حسن الحديث، مقارب الحديث.
“ Orang yang berstatus jujur, orang yang
baik haditsnya, orang yang bagus haditsnya, orang yang haditsnya berdekatan
dengan hadits lain yang tsiqah“.
Keenam : menunjukan arti
mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut diatas yang diikuti dengan lafadh
“insya Allah”, atau lafadh tersebut ditashirkan (pengecilan
arti), atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya :
صدوق إن شاءالله، فلان أرجو بأن لّا
بأس به، فلان صويلح، فلان مقبول حديثه.
“ Orang yang jujur, Insya Allah, orang
diharapkan tsiqah, orang yang sedikit kesalehannya, orang diterima
hadits-haditsnya “.
Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi
yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah.
Adapun tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan dapat dipergunakan
bila dikuatkan oleh periwayatan lain.
Kemudian, tingkatan dan lafazh-lafazh untuk
men-tajrih rawi-rawi yaitu :
Pertama : Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah,
misalnya dengan kata-kata:
أوضع الناس، أكذّب الناس، إليه المنتهى فى الوضْع.
(Manusia
paling pendusta, tiangnya dusta, orang yang paling menonjol kebohongannya).
Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang mubalaghah.
Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta
namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya:
كذّاب، وضّاع، دجّال. = Pembohong, pendusta, penipu
meskipun
lafal yang dipergunakan menunjukkan mubalaghah, tetapi lebih lunak dari
peringkat yang pertama.
Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi dituduh berdusta
lafadz yang digunakan misalnya:
فلان متّهم بلكذب، أومتّهم بالوضع، فلان فيه النّظر،
فلان ساقط، فلان ذاهب الحديث، فلان مَتْروكُ الهديث.
“ Orang yang dituduh bohong, orang yang dituduh dusta, orang yang
perlu diteliti, orang yang gugur, orang yang haditsnya telah hilang, orang yang
ditinggalkan haditsnya “.
Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat
lemah. Lafadz yang digunakan:
مطروح الحديث، فلان ضعيف، فلان مردود الحديث.
“ Orang yang dilempar haditsnya, orang yang
lemah, orang yang ditolak haditsnya “.
Kelima : Menunjukan
bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang
mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
فلان لا يُحْتَجُ به، فلان مجهول،
فلان منكر الحديث، فلان مُضْطَرِبُ الحديث، فلان واه.
“ Orang tidak dapat dibuat hujjah
haditsnya, orang yang tidak dikenal identitasnya, orang yang mungkar haditsnya,
orang yang kacau haditsnya, orang banyak duga-duga “.
Keenam : menyifati
rawi dengan sifat-sifat yang menunjukan kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu
berdekatan dengan ’adil. Misalnya:
ضعف حديثه،
فلان مقال فيه، فلان فيه خلف، فلان ليّن، فلان بالحجة، فلان ليس القوي.
“ Orang yang di-dhoif-kan haditsnya, orang
yang diperbincangkan, orang yang disingkiri, orang yang lunak, orang yang tidak
dapat dijadikan hujah haditsnya, orang yang tidak kuat “.
Orang
yang di-tajrih
menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya tidak dapat
dibuat hujjah sama sekali . Adapun orang-orang yang di tajrihkan
menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih
dapat di pakai sebagai I’tibar ( tempat pembading ).
Untuk memerima pen-tajrih-han atau
pen-ta’dil-an, ada yang harus diperhatikan, yaitu apabila kita temui sebagai
ahli Jarh dan Ta’dil, dalam men-jarh seorang rawi, kita tidak perlu segera
menerima pen-tajrihan tersebut, tetapi hendaklah menyelidiki terlebih dahulu.
Jika pen-tajrihan itu membawa kegoncangan yang hebat, kendati yang
men-tajrih-kan ulama-ulama yang masyhur, pen-tajrih-annya tersebut tidak boleh
diterima. Sebab setelah kita adakan penelitian, terkadang sebab-sebab yang
digunakan untuk men-jarh-kannya tidak kuat sehingga kita bisa menolak pen-jarh-annya.
Hal ini disebabkan adanya
kemungkinan-kemungkinan antara lain adalah dia sendiri termasuk orang yang
di-Tajrih-kan orang lain, sehingga pen-tajrih-annya dan pen-ta’dilannya tidak
harus segera kita terima, selama orang- orang lain tidak menyetujuinya. Kemungkinan
yang lain bisa terjadi bahwa si jahr termasuk orang yang terlalu berlebihan dalam men-tajrih-kan seseorang.
Adapun pen-tajrih-an
yang dilakukan oleh kebanyakan ahli tajrih dan ta’dil, lebih ringan. Jadi
riwayat yang kemungkinan diterima adalah bukan berdasarkan banyak atau sedikitnya
orang yang menilai, tetapi terlebih
dahulu berdasarkan
kualitas orang yang menilainya.[9]
2.8
Kitab –
kitab ilmu Jarh wa at-ta’dil
Termasuk
karya-karya yang populer adalah kitab Ats- tsiqat karya Abu
Hatim Ibn Hibban Al- Basati wafat pada tahun (354 H) dan Al-Kamil fi
Ma’rifat Dhu’afa Al-Muhadditsin Wa‘ilal Al- Hadits karya Al-Hafidz al-Kabir
Abu Ahmad Abdullah Ibn Muhammad Ibn Adi Al- Jurjani (277-365 H).
Adapun karya cetakan yang paling
lengkap dalam bidang ini adalah kitab Mizan Al- I’tidal, Karya Imam
Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad Adz- Dzahaby (673- 748 H) yang dicetak beberapa
kali, dan terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1382 H/1963 M dalam tiga juz’,
memuat 1.105 biografi.
Begitu
juga kitab Lisanu’l Mizan, karya Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqhalany (773- 852 H)
yang sudah mencakup isi kitab Mizanu’l I’tidal dengan beberapa tambahan yang
penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-
sanad. Ia di cetak di India pada tahun 1329- 1331 H. dalam 6 juz.[10]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil merupakan
materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau adilnya
seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klarifikasi
hadisnya. Dengan mengetahui ilmu al-Jarh wa at-ta’dil, kita juga akan
bisa menyeleksi mana hadist shohih, hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama
dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
Kita tidak boleh menerima begitu
saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainnya, terkadang
pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap
orang yang sama bisa bertentangan. Oleh sebab itu, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi (kriteria yang dimiliki) bagi orang yang men-Ta’dil-kan (Mu’addil)
dan orang yang men-jarah-kan (Jarih). Salah satunya harus
berilmu, takwa, wara’, jujur, tidak fanatik terhadap golongan, dan
mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
Dalam menentukan sebuah hadis,
konsep mendahulukan jarh daripada ta’dil bukan merupakan konsep
yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari mayoritas ulama. Kemudian
lafazh-lafazh yang digunakan untuk men-tajrih dan men-ta’dil itu
memiliki tingkatan. Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan
oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai
tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedangkan orang yang di-tajrih
menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya tidak dapat
dibuat hujjah sama sekali.
Dengan demikian, Ilmu Al-Jarh wa
Al-Ta’dil merupakan bagian penting dari cabang ilmu ‘ulumul hadis
dalam proses penyeleksian sebuah hadits. Sehingga bisa diterima atau tidaknya
sebuah hadits tersebut.
3.2
Kritik dan saran
Ilmu
jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat penting bagi para pelajar ilmu hadits,
karena ilmu ini merupakan timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya
diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya
ditolak riwayatannya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang
dapat diterimahadistnya, serta dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak
dapat diterimahaditsnya. Oleh karena kami selaku pelajar
menghimbau kepada para ulama hadits untuk memperhatikan ilmu ini dengan penuh
perhatiannya dan mencurahkan segala pikirannya untuk menjaga mengajarkan
.
3.3
Daftar Pustaka
Munzier Suparta. 2002. Ilmu
hadits-Ed.Revisi. Cet-3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
M. Solahudin & Agus
Suyadi. 2008. Ulumul hadits-Cet.ke-1. Bandung: Pustaka Setia.
http://www.academi.edu/9325839/Ilmu Jarh wa Ta’dil
Al-Khatib, Muhammad Ajaj. 1999. Hadits
Nabi sebelum dibukukan-Cet.1, Jakarta: Gema Insani Press.
Abdul Hakim bin Amir Abdat.2006. Pengantar
Ilmu Mushthalah Hadits, Cet.1, Jakarta: Pustaka Darul Qalam.
1 Munzier
Suparta, Ilmu hadits-Ed.Revisi, Cet-3, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002, hal.31
2 M.
Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul hadits-Cet.ke-1, Bandung: Pustaka Setia,
2008, hal.157-158
3 M.
Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul hadits-Cet.ke-1, Bandung: Pustaka
Setia, 2008, hal.159
5 M.Solahudin
& Agus Suyadi, Ulumul hadits-Cet.ke-1, Bandung: Pustaka Setia, 2008,
hal.160-162
6 Ibid.
7 Abdul Hakim bin Amir Abdat,
Pengantar Ilmu Mushthalah Hadits, Cet.1, Jakarta: Pustaka Darul Qalam, 2006, hal.287
8Ibid
hal. 9
9 M.
Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul hadits-Cet.1, Bandung: Pustaka
Setia, 2008, hal.164-168
10
Al-Khatib,
Muhammad Ajaj, Hadits Nabi sebelum dibukukan-Cet.1, Jakarta: Gema Insani
Press, 1999, hal. 330-332