Senin, 23 Mei 2016

Jarh wa at-ta'dil



JARH  WA  TA’DIL
Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
ULUMUL HADITS
Dosen Pembimbing:
Rina Asih Handayani, M.Pd.

Disusun oleh:
1.      Imam Prasetyo      NIM  114-14-001
2.      Syarif Hadiansah NIM  114-14-004
3.      Muh. Mahfud       NIM  114-14-006

Institute Agama Islam Negeri Salatiga
Fakultas Tarbiyyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Tahun 2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
            Puji syukur Kami panjatkan atas rakhmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah “ Jarh wa Ta’dil ” tepat pada waktunya.
Ucapan terima kasih juga Kami berikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini. Terutama kepada dosen pembimbing,yang telah membimbing kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
            Kami selaku penulis ingin ikut berpartisipasi dalam penyampaian tentang “Pengertian Jarh wa ta’dil dan kedudukannya dalam ilmu hadits”. Kami berharap, apa yang kami  sampaikan dapat diterima dan mudah untuk dipahami.
            Semoga makalah ini bermanfaat bagi segenap pembaca. Dan apabila ada kekurangan atau kesalahan, kritik dan saran yang bersifat membangun, sangat kami harapkan dari segenap pembaca untuk perbaikan tugas-tugas dilain kesempatan.
Wassalamu’alaikum wr.wb                                                                                                                                                    
         Semarang, 30 April 2016


                                                                                                                                         

DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................................... i
Kata Pengantar ........................................................................................................ii
Daftar Isi ................................................................................................................ iii

BAB    I   PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2     Rumusan Masalah ........................................................................... 2
1.3     Tujuan Masalah ............................................................................... 2

BAB   II PEMBAHASAN
2.1     Pengertian  Al-Jarh wa Ta’dil........................................................ 3-4
2.2     Manfaat  Al-Jarh wa Ta’dil .............................................................. 5
2.3     Macam - macam  keaiban  Rawi ..............................................................................5-6
2.4     Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan Rawi
dan masalah – masalahnya .........................................................................................7-9
2.5     Syarat - syarat  orang yang men-tajrih -kan  dan men-ta’dil-kan ............................   9 
2.6   Pertentangan antara Al-Jarh wa At-Ta'dil ...................................... 10
2.7   Tingkatan lafazh  ilmu Jarh wa ta'dil ...........................................11-14
2.8   Kitab-kitab ilmu Jarh wa at-ta'dil ...................................................14

BAB  III PENUTUP

3.1     Kesimpulan .................................................................................. 15

3.2     Kritik dan saran ............................................................................16

3.3     Daftar Pustaka ............................................................................. 16




BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
          Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur‟an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang  pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa  penulisan dan pembukuan suatu hadits. Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam dewan hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ihwal sifat perawi yang berkenaan dengan adil, dhabith atau fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat  penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu al- Jarh wa al-Ta‟dil

1.2         Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang tersebut perlu kirannya kami merumuskan masalah demi pijakan untuk tetap fokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1        Pengertian  Al-Jarh wa Ta’dil
1.2.2        Manfaat  Al-Jarh wa Ta’dil
1.2.3        Macam - macam  keaiban  Rawi
1.2.4        Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan Rawi
dan masalah – masalahnya
1.2.5        Syarat - syarat  orang yang mentajrihkan dan menta’dilkan
1.2.6        Pertentangan antara Al-Jarh wa At-Ta’dil
1.2.7        Tingkatan lafazh ilmu Jarh wa at-ta’dil
1.2.8        Kitab - kitab ilmu Jarh wa at-ta’dil

1.3         Tujuan Masalah
1.3.1        Untuk mengetahui tentang pengertian  tentang Al-Jarh wa Ta’dil
1.3.2        Untuk mengetahui  manfaat  Al-Jarh wa Ta’dil dalam hubungannya dengan hadits
1.3.3        Untuk mengetahui tentang macam - macam  keaiban  Rawi
1.3.4        Untuk mengetahui tentang metode apa yang digunakan untuk mengetahui keadilan  dan  kecacatan Rawi  dan  masalah - masalahnya
1.3.5        Untuk mengetahui tentang syarat - syarat  orang yang mentajrihkan dan menta’dilkan
1.3.6        Untuk mengetahui tentang Pertentangan antara Al-Jarh wa At-Ta’dil
1.3.7        Untuk mengetahui tentang tingkatan lafazh ilmu Jarh wa at-ta’dil
1.3.8        Untuk mengetahui tentang kitab - kitab ilmu Jarh wa at-ta’dil yang sudah ada sekarang ini 

BAB II
PEMBAHASAN


2.1         Pengertian  Al-Jarh wa Ta’dil

Kalimat al-jarh wa at-ta’dil merupakan satu kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu al-jarh  dan al-‘adl. Secara bahasa al-jarh yang berarti seseorang yang melukai tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka tersebut. Dan juga pendapat lainnya  al-jarh berarti luka, cela, ataupun cacat. Dalam ilmu pengetahuan adalah yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya.[1] Para ahli hadist mendefinisikannya dengan “kecacatan perawi Hadist yang disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”. Ibn Mandzur mengatakan hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.

 Secara terminology (istilah), al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur (tidak diterima) riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.

Adapun ‘at-tajrih’ menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konskuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.

Sedangkan at-ta’dil secara bahasa berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu harus lurus ” merupakan lawan dari “ lacur “. Orang adil berarti orang yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif.  Adapun secara terminologi, al-adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.

Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Adapun rawi dikatakan ‘adil adalah orang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberi sifat-sifat terpuji kepada rawi sehingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya.

Dengan demikian pengertian dari Jarh wa at-ta'dil adalah :

العلم الذى يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول رواياتهم أوردها  

" Ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka "

Berdasar pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadist yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadist yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadistnya.[2]


2.2         Manfaat  Al-Jarh wa Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatannya seorang rawi dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang  rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist tersebut terpenuhi.
Apabila kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan seksama, maka akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits ini dinilai sama. Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadits harus diteliti secara seksama karena terjadi pertikaian, yang dikaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka yang menyandarkan hadits terhadap Rasulullah SAW, padahal yang diriwayatkannya adalah riwayat yang bohong. Dan mereka melakukan itu untuk kepentingan golongannya saja.
Jika kita tidak mengetahui benar dan salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukan antara hadits yang benar-benar dan yang palsu (maudhu’)
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadist shohih, hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.[3]

2.3         Macam - macam  keaiban  Rawi
1.  BID’AH
Melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan syari’at. Adalakanya tergolong orang-orang yang dikafirkan dan adapula yang tergolong orang-orang yang difasikkan. Mereka yang tergolong orang-orang yang kafir, ialah golongan Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan menyusup (bersatu) pada Sayyidina ‘Ali, dan pada imam-imam lain, dan mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali lagi kedunia sebelum hari kiamat. Sedangkan 
yang fasik, ialah golongan yang mempunyai ittikad berlawanan dengan dasar syari’at.

2. MUKHALAFFAH
Menilai dengan periwayatan orang yang lebih tsiqoh. Yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila seorang rawi yang baik ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadist berlawanan dengan riwayat orang yang lebih baik ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama’kan (dikumpulkan). Periwayatan yang demikian disebut syadz, dan rawinya sangat lemah hafalannya maka di sebut munkar.

3. GHALATH
Banyak kekeliruan dalam periwayatan. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai hadist- hadist yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain tidak di sifati dengan ghalath, maka hadist yang diriwayatkan oleh orang banyak salah tersebut dapat di pakai, tetapi bukan menurut sanadnya.

4. JAHALATUL-HAL
Tidak dikenal identitasnya merupakan pantangan untuk diterima hadistnya, selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkarinya, dalam hal ini di dahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya.
5. DA’WAL-INQITHA
Diduga keras sanadnya tidak bersambung. Pendakwaan terputus dalam sanad, misalnya mendakwa rawi memalsukan atau menyambungkan suatu hadist.[4]



2.4         Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan Rawi
dan masalah – masalahnya
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan, yaitu :
Pertama, Dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia dikenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu sepirti Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.
Kedua, Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
a.    Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadist).
b.    Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak. Selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.

Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan :
a.    Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b.    Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut  para fuqaha sekurang-sekurangnya harus ditajrihkan oleh dua orang laki-laki yang adil.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan menta’dilkan dan menjarhkan seorang rawi, diantaranya apabila penilaian itu secara mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan ada kalanya mufasar (disebutkan sebab-sebabnya). Tentang mubham ini diperselisihkan oleh para ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu:
a.    Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu banyak sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja. Adapun mentajrihkan tidak diterima, kalau tidak menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan karena orang-orang itu berlainan dengan mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seorang mentajrihkan menurut keyakinannya, tetapi tidak dalam kenyataan.
b.    Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu. Karena sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedangkan mentajrihkan tidak bisa dibuat-buat
c.    Untuk kedua-duanya, harus disebut sebab-sebabnya
d.   Untuk kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarh dan mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara sebab munculnya kriteria mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap rawi.

Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang dipandang cukup untuk menta’dilkan dan mentajrihkan rawi, seperti berikut ini :
a.    Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikian pendapat kebanyakan fuqaha’ Madinah.
b.    Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab, bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadist, maka tidak pula disyaratkan dalam menta’dilkan dan mentajrihkan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
c.    Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.

Adapun kalau ke’adalahannya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak diperlukan orang yang menta’dilkan (mu’addil). Seperti Malik, As-Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu ‘I-Mubarak, Syu’bah, Is-haq dan lain-lainnya.[5]

2.5         Syarat - syarat  orang yang men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan
Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainnya, melainkan harus jelas dahulu sebab-sebab penilaiannya. Terkadang orang menilai orang lain cacat padahal dia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, tidak boleh menerima langsung suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.
Bagi orang-orang yang menta’dilkan dan mentarjihkan diperlukan syarat-syarat berikut ini:
a.         Berilmu pengetahuan
b.        Takwa
c.         Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat).
d.        Jujur
e.         Menjauhi fanatik golongan
f.         Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentajrihkan.[6]
            

2.6     Pertentangan antara Al-Jarh wa At-Ta’dil
             Terkadang, pertanyaan-pertanyaan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian mentajrihkannya, sebagian lain menta’dilkan. Bila keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya.
          Dalam masalah ini , para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut :
1.    Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarh tertentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil, dan kalau jarh dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarhnya memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh Jumhur ‘ulama.[7]
2.    Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila menta’dilkan lebih banyak karena banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini dapat diterima, sebab yang menta’dil. Meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang mentajrih.
3.    Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat diantara keduanya.
4.    Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang mentajrihkan.[8]

2.7     Tingkatan lafazh ilmu Jarh wa at-ta’dil
Pertama:  Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan:
أَوْ ثَقُ النَّاسِ، أَثْبَتُ الناسِ حِفْظًا وعدالَهً، إِليْهِ اْلمُنْتَهَى فىى الثَّبْتِ، ثِقَّةٌ فَوْقَ ثِقَّةٍ.
“ Orang yang paling tsiqoh, Orang yang paling mantab hapalan dan keadilannya, Orang yang menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya, Orang tsiqot melebihi orang tsiqot “.
Kedua : Memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafazh (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya :
ثَبْتٌ ثبْتٍ، ثقّةٌ ثقّةٍ، حجّةٌ حجّةٍ، ثبت ثقة، حافظ حجّة، ضابط مُتْقِنٍ.
“ Orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendirian, Orang yang (lagi) petah lidahnya, Orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendirian dan kuat hapalannya, Orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya, Orang yang kuat ingatannya (lagi) menyakinkan ilmunya “.
Ketiga : Menunjukkan keadilan dengan suatu lafazh yang mengandung arti “ kuat ingatan “, misalnya :
ثبْت، مُتْقِنٌ، ثقّة، حافظ، حجّة.
“ Orang yang teguh (hati-hati lidahnya), orang yang menyakinkan ilmunya, Orang yang tsiqah, Orang yang hafizh  (Kuat hapalannya), Orang yang petah lidahnya “.
                   Keempat : Menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafazh yang tidak mengandung arti “kuat ingatan” dan ‘adil (tsiqah), misalnya:
صدوقٌ، مأمون، لابأْسَ بِهِ.
“ Orang yang sangat jujur, orang yang dapat memegang  amanat, orang yang tidak cacat “.
Kelima : Menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an, misalnya :
محلة الصدق، جيّد الحديث، حسن الحديث، مقارب الحديث.
“ Orang yang berstatus jujur, orang yang baik haditsnya, orang yang bagus haditsnya, orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits lain yang tsiqah“.
Keenam : menunjukan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut diatas yang diikuti dengan lafadh “insya Allah”, atau lafadh tersebut ditashirkan (pengecilan arti), atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya :
صدوق إن شاءالله، فلان أرجو بأن لّا بأس به، فلان صويلح، فلان مقبول حديثه.
“ Orang yang jujur, Insya Allah, orang diharapkan tsiqah, orang yang sedikit kesalehannya, orang diterima hadits-haditsnya “.

Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh periwayatan lain.
Kemudian, tingkatan dan lafazh-lafazh untuk men-tajrih rawi-rawi yaitu :
Pertama : Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata:
أوضع الناس، أكذّب الناس، إليه المنتهى فى الوضْع.
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta, orang yang paling menonjol kebohongannya). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang mubalaghah.
Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya:
كذّاب، وضّاع، دجّال.  = Pembohong, pendusta, penipu
meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan mubalaghah, tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
          Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
فلان متّهم بلكذب، أومتّهم بالوضع، فلان فيه النّظر، فلان ساقط، فلان ذاهب الحديث، فلان مَتْروكُ الهديث.
“ Orang yang dituduh  bohong, orang yang dituduh dusta, orang yang perlu diteliti, orang yang gugur, orang yang haditsnya telah hilang, orang yang ditinggalkan haditsnya “.
Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
مطروح الحديث، فلان ضعيف، فلان مردود الحديث.
“ Orang yang dilempar haditsnya, orang yang lemah, orang yang ditolak haditsnya “.
Kelima : Menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
فلان لا يُحْتَجُ به، فلان مجهول، فلان منكر الحديث، فلان مُضْطَرِبُ الحديث، فلان واه.
“ Orang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya, orang yang tidak dikenal identitasnya, orang yang mungkar haditsnya, orang yang kacau haditsnya, orang banyak duga-duga “.
Keenam : menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjukan kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan ’adil. Misalnya:
ضعف حديثه، فلان مقال فيه، فلان فيه خلف، فلان ليّن، فلان بالحجة، فلان ليس القوي.
“ Orang yang di-dhoif-kan haditsnya, orang yang diperbincangkan, orang yang disingkiri, orang yang lunak, orang yang tidak dapat dijadikan hujah haditsnya, orang yang tidak kuat “.

          Orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali . Adapun orang-orang yang di tajrihkan menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya  masih dapat di pakai sebagai I’tibar ( tempat pembading ).
          Untuk memerima pen-tajrih-han atau pen-ta’dil-an, ada yang harus diperhatikan, yaitu apabila kita temui sebagai ahli Jarh dan Ta’dil, dalam men-jarh seorang rawi, kita tidak perlu segera menerima pen-tajrihan tersebut, tetapi hendaklah menyelidiki terlebih dahulu. Jika pen-tajrihan itu membawa kegoncangan yang hebat, kendati yang men-tajrih-kan ulama-ulama yang masyhur, pen-tajrih-annya tersebut tidak boleh diterima. Sebab setelah kita adakan penelitian, terkadang sebab-sebab yang digunakan untuk men-jarh-kannya tidak kuat sehingga kita bisa menolak pen-jarh-annya.
          Hal ini disebabkan adanya kemungkinan-kemungkinan antara lain adalah dia sendiri termasuk orang yang di-Tajrih-kan orang lain, sehingga pen-tajrih-annya dan pen-ta’dilannya tidak harus segera kita terima, selama orang- orang lain tidak menyetujuinya. Kemungkinan yang lain bisa terjadi bahwa si jahr termasuk orang yang terlalu berlebihan dalam  men-tajrih-kan seseorang. Adapun pen-tajrih-an yang dilakukan oleh kebanyakan ahli tajrih dan ta’dil, lebih ringan. Jadi riwayat yang kemungkinan diterima adalah bukan berdasarkan banyak atau sedikitnya orang yang menilai, tetapi terlebih dahulu berdasarkan kualitas orang yang menilainya.[9]

2.8         Kitab – kitab ilmu Jarh wa at-ta’dil
Termasuk karya-karya yang populer adalah kitab Ats- tsiqat  karya Abu Hatim Ibn Hibban Al- Basati wafat pada tahun (354 H) dan Al-Kamil fi Ma’rifat Dhu’afa Al-Muhadditsin Wa‘ilal Al- Hadits karya Al-Hafidz al-Kabir Abu Ahmad Abdullah Ibn Muhammad Ibn Adi Al- Jurjani (277-365 H).
          Adapun karya cetakan yang paling lengkap dalam bidang ini adalah kitab Mizan Al- I’tidal, Karya Imam Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad Adz- Dzahaby (673- 748 H) yang dicetak beberapa kali, dan terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1382 H/1963 M dalam tiga juz’, memuat 1.105 biografi.
            Begitu juga kitab Lisanu’l Mizan, karya Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqhalany (773- 852 H) yang sudah mencakup isi kitab Mizanu’l I’tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus- sanad. Ia di cetak di India pada tahun 1329- 1331 H. dalam 6 juz.[10]


BAB  III
PENUTUP

            3.1         Kesimpulan
Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil merupakan materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klarifikasi hadisnya. Dengan mengetahui ilmu al-Jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadist shohih, hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainnya, terkadang pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa bertentangan. Oleh sebab itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi (kriteria yang dimiliki) bagi orang yang men-Ta’dil-kan (Mu’addil) dan orang yang men-jarah-kan (Jarih).  Salah satunya harus berilmu, takwa, wara’, jujur, tidak fanatik terhadap golongan, dan mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
Dalam menentukan sebuah hadis, konsep mendahulukan jarh daripada ta’dil bukan merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari mayoritas ulama. Kemudian lafazh-lafazh yang digunakan untuk men-tajrih dan men-ta’dil itu memiliki tingkatan. Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedangkan orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali.
Dengan demikian, Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil merupakan bagian penting dari cabang ilmu ‘ulumul hadis dalam proses penyeleksian sebuah hadits. Sehingga bisa diterima atau tidaknya sebuah hadits tersebut. 


3.2         Kritik dan saran

          Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat penting bagi para pelajar ilmu hadits, karena ilmu ini merupakan timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatannya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterimahadistnya, serta dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterimahaditsnya. Oleh karena kami selaku pelajar menghimbau kepada para ulama hadits untuk memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan segala pikirannya untuk menjaga mengajarkan . 


3.3         Daftar Pustaka

Munzier Suparta. 2002. Ilmu hadits-Ed.Revisi. Cet-3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

M. Solahudin & Agus Suyadi. 2008. Ulumul hadits-Cet.ke-1. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Khatib, Muhammad Ajaj. 1999. Hadits Nabi sebelum dibukukan-Cet.1, Jakarta: Gema Insani Press.
Abdul Hakim bin Amir Abdat.2006. Pengantar Ilmu Mushthalah Hadits, Cet.1, Jakarta: Pustaka Darul Qalam.

1 Munzier Suparta, Ilmu hadits-Ed.Revisi, Cet-3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal.31
2 M. Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul hadits-Cet.ke-1, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal.157-158
3 M. Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul hadits-Cet.ke-1, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal.159
5 M.Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul hadits-Cet.ke-1, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal.160-162
6 Ibid.
7 Abdul Hakim bin Amir Abdat, Pengantar Ilmu Mushthalah Hadits, Cet.1, Jakarta: Pustaka Darul Qalam,    2006,     hal.287
 8Ibid hal. 9
9 M. Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul hadits-Cet.1, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal.164-168
10 Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Hadits Nabi sebelum dibukukan-Cet.1, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hal. 330-332
 



 











Tidak ada komentar:

Posting Komentar